WASHINGTON - Presiden Amerika Serikat Donald Trump memberikan sinyal bahwa kesepakatan adil dengan China masih mungkin tercapai, di tengah tekanan pasar global, kenaikan harga domestik, dan kekhawatiran akan resesi ekonomi.Gedung Putih memang belum memastikan waktu dimulainya negosiasi resmi dengan Beijing, namun suasana diskusi internal menunjukkan adanya pergeseran strategi Trump.&nbsp;"Kami akan mencapai kesepakatan yang adil dengan China," kata Trump kepada wartawan pada Rabu (23/4/2025) lalu.&nbsp;Wall Street Journal mengeluarkan laporan yang didapat dari seorang pejabat Gedung Putih. Pejabat tersebut menyebutkan bahwa tarif terhadap barang-barang asal China bisa diturunkan dari 145% menjadi kisaran 50%-65% sebagai langkah meredakan ketegangan.Menurut pejabat tersebut, semua opsi masih dikaji dan tidak ada yang final hingga disampaikan langsung oleh Presiden Trump.<ul><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/mencermati-tren-dividen-bmri-10-tahun-terakhir">Mencermati Tren Dividen BMRI 10 Tahun Terakhir</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/ijti-angkat-bicara-soal-direktur-jak-tv-jadi-tersangka-kasus-timah">IJTI Angkat Bicara Soal Direktur Jak TV jadi Tersangka Kasus Timah</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/histori-dividen-bbri-10-tahun-terakhir">Histori Dividen BBRI 10 Tahun Terakhir</a></li></ul>Sebelumnya, pemerintahan Trump sempat mempertimbangkan sistem tarif berjenjang yang ekstrem, termasuk pungutan 35% untuk barang non-strategis dan lebih dari 100% untuk barang yang dianggap strategis bagi keamanan nasional. Namun kebijakan tersebut mulai menunjukkan dampak balik yang signifikan terhadap ekonomi domestik AS.Salah satu efek yang paling terasa adalah naiknya harga barang konsumsi di Amerika Serikat sendiri. Banyak produk elektronik, peralatan rumah tangga, pakaian, hingga mainan anak-anak yang didominasi oleh impor dari China mengalami lonjakan harga.&nbsp;Dalam banyak kasus, beban tarif sepenuhnya dialihkan kepada konsumen Amerika, bukan ditanggung oleh eksportir China seperti yang kerap diklaim oleh Presiden Trump.Sementara itu, data dari perusahaan pelayaran Hapag-Lloyd asal Jerman menunjukkan bahwa 30% pengiriman barang dari China ke AS telah dibatalkan akibat ketegangan dagang yang berkelanjutan. China pun membalas dengan mengenakan tarif balasan hingga 125% terhadap berbagai produk AS.AS juga telah menerapkan tarif menyeluruh sebesar 10% terhadap semua impor, serta bea masuk tinggi terhadap baja, aluminium, mobil, farmasi, dan semikonduktor.&nbsp;Namun, tekanan dari sektor bisnis dan masyarakat luas membuat Trump menunda pemberlakuan tarif tambahan terhadap puluhan negara hingga 9 Juli 2025.Situasi ini semakin memperkeruh kondisi pasar keuangan global. Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa kebijakan proteksionis ini bukan hanya mengancam pertumbuhan ekonomi global, tetapi juga mendorong kenaikan utang dunia dan mengganggu kestabilan harga di banyak negara.<ul><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/mencermati-tren-dividen-bmri-10-tahun-terakhir">Mencermati Tren Dividen BMRI 10 Tahun Terakhir</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/ijti-angkat-bicara-soal-direktur-jak-tv-jadi-tersangka-kasus-timah">IJTI Angkat Bicara Soal Direktur Jak TV jadi Tersangka Kasus Timah</a></li><li><a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/read/histori-dividen-bbri-10-tahun-terakhir">Histori Dividen BBRI 10 Tahun Terakhir</a></li></ul><h3>Amerika Diambang Resesi</h3>Dampak dari kebijakan tarif Presiden Trump&nbsp;mulai terlihat nyata. Pasar saham Amerika terguncang, dengan indeks Dow Jones turun 1,5% dan S&amp;P 500 anjlok hingga 2,4% di akhir Maret 2025.&nbsp;Di sisi lain, kepercayaan bisnis dan konsumen terus melemah, dibarengi dengan penurunan belanja konsumen secara signifikan sejak Januari. Tak hanya itu, defisit perdagangan AS melebar hingga mencapai rekor US$131 miliar, didorong oleh aksi impor besar-besaran dari perusahaan yang berlomba mengamankan stok sebelum tarif baru diberlakukan.Lembaga keuangan ternama seperti Goldman Sachs menaikkan proyeksi peluang resesi dari 15% menjadi 20%, sementara Morgan Stanley memangkas estimasi pertumbuhan ekonomi AS dari 1,9% menjadi hanya 1,5%.&nbsp;Bahkan model prediktif GDPNow milik Federal Reserve Bank of Atlanta memproyeksikan kontraksi 2,4% pada kuartal pertama 2025.Meski Presiden Trump dalam wawancara dengan Fox News menyebut gejolak ini sebagai “periode transisi”, kritik keras datang dari banyak ekonom. UBS menyebut bahwa tarif yang berubah-ubah justru memberi ruang bagi pelaku usaha untuk menaikkan harga, yang pada akhirnya merugikan konsumen.Beberapa analis bahkan mengembangkan teori bahwa Gedung Putih secara sengaja menciptakan perlambatan ekonomi sebagai “hard reset” guna menekan inflasi, menurunkan nilai dolar, dan menciptakan landasan baru yang lebih stabil untuk jangka panjang.Namun, tidak semua pihak bersikap pesimistis. Ekonom dari Berenberg Bank menyatakan bahwa kekuatan fundamental ekonomi AS masih cukup kokoh dan tidak sepenuhnya bergantung pada kebijakan Trump.&nbsp;Kendati demikian, gejolak yang terjadi saat ini tetap menjadi alarm keras bagi pasar global bahwa arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat bisa membawa konsekuensi luas, bukan hanya untuk domestik, tetapi juga tatanan ekonomi dunia.

AMIRUDDIN ZUHRI.png

8a9d2553-5eb1-4fab-b648-9f94f3c4babc.jpg

Seorang pejabat Gedung Putih menyebutkan bahwa tarif terhadap barang-barang asal China bisa diturunkan dari 145% menjadi kisaran 50%-65%

Harga Emas Hari Ini

Jadi Bumerang, AS Berpotensi Turunkan Tarif Untuk China