Setiap inovasi, bahkan yang terjadi secara revolusioner, itu tidak mengubah apalagi menghilangkan kebutuhan. Pada intinya hanya mengubah cara dan pola untuk kemudian menciptakan ruang usaha baru.



Dari prinsip di atas kita coba memahami lebih bijak tentang revolusi yang sedang menggaung di dunia, tidak terkecuali Indonesia, Industri 4.0 (Four point O).



Radio vs Televisi



“…video killed the radio star..” penggalan lirik dan judul lagu dipopulerkan The Buggles itu jadi tren pada era 1970-an. Menyuarakan kemunculan era televisi (tv) sebagai media massa (elektronik) baru setelah radio.



Pada zaman keemasannya, radio memang melahirkan para selebritis. Bintang suara dengan ciri dan kompetensi di bidangnya masing-masing; tokoh drama, komedian, kritikus sosial, musisi, dan sebagainya.



Idiom “video killed the radio star” kemudian meluas dan dianggap kehadiran industri tv bukan cuma membunuh para bintangnya tapi juga industri radio secara keseluruhan.



Pada kenyataannya, tv hanya menggantikan posisi pajang di rumah saja. Menguasai ruang keluarga dan membuat radio bergeser ke kamar tidur atau cukup di mobil dan menjadi teman setia saat di perjalanan.&nbsp;



Kenapa radio, juga televisi, hidup “berdampingan” tanpa saling mematikan? Sebab keduanya tetap menyajikan kebutuhan publik. Kebutuhan akan informasi dan hiburan. Dengan caranya masing-masing tentu saja.



Kaset dan Musik



Piringan hitam dan alat pemutarnya sudah jadi barang langka. Sejak digantikan bentuk yang lebih ringkas disebut kaset tentu saja.



Kaset juga sudah nyaris punah sekarang. Berangsur ditinggalkan sejak era&nbsp;Compact Disc&nbsp;(CD) dan DVD merajai. Bentuknya lebih tipis dan suaranya lebih jernih. Daya tampungnya juga lebih banyak ketimbang kaset.



CD dan DVD sekarang ternyata juga mulai jarang digunakan. Kehadiran era digital membuat barang setipis itu jadi terasa merepotkan. Tidak ringkas.&nbsp;



Internet mengonversi karya para musisi dan sineas menjadi lebih mudah untuk disimpan dan diputar. Tidak perlu lagi media penyimpan fisik.



Kebutuhan manusia akan hiburan berupa musik dan film dipenuhi dengan cara berbeda di era digital. Dengan cara baru.



Media Cetak (Koran) vs Media Online



Industri percetakan, terutama koran, termasuk yang paling “gelagapan” ketika media online mulai tumbuh. Dimulai dari kuantitas dan terus diikuti peningkatan kualitas media online sehingga mulai dterima masyarakat sebagai salah satu sumber berita terpercaya.



Sejak beberapa tahun lalu pertanyaan besar muncul: bisnis koran akan mati? Sampai hari ini buktinya masih eksis. Koran-koran yang sudah punya nama besar bahkan jadi punya sumber pendapatan baru karena mendirikan sayap bisnis media online dengan&nbsp;brandyang sama.



Memang terdengar di beberapa Negara, bahkan Negara maju seperti di Eropa dan Amerika Serikat (AS) sejumlah perusahaan surat kabar gulung tikar. Dibunuh media online? Belum tentu.



Secara bijak salah satu koran besar di Indonesia justru menyimpulkan bahwa yang akan membunuh koran adalah industri koran itu sendiri. Dalam arti, tidak boleh merasa nyaman dengan situasi seperti sebelumnya.



Koran harus inovatif dan tampil beda. Menyajikan berita yang jauh lebih baik dan lebih dalam dibandingkan media online. Menambahkan dengan suguhan desain dan grafis lebih ciamik.&nbsp;



Sebab satu hal tidak bisa dihindari, media online bisa sampaikan informasi lebih cepat dibandingkan koran yang butuh proses. Kalah cepat.



Koran, sebagaimana media online, tetap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi. Berita yang akurat dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan caranya masing-masing.



Kekhawatiran yang sama juga dirasakan media cetak lainnya secara umum. Apalagi media iklan luar ruang elektronik kian menjamur dan lebih dinamis. Tapi, sama seperti koran,&nbsp;printing&nbsp;&nbsp;tidak lantas kehilangan ruang tumbuh.



Industri 4.0



Dilihat dari definisinya, mengutip laman Wikipedia, Industri 4.0 adalah nama tren otomasi dan pertukaran data terkini dalam teknologi pabrik. Istilah ini mencakup sistem siber-fisik, internet untuk segala (Internet of Things/IoT), komputasi awan, dan komputasi kognitif.



Industri 4.0 menghasilkan pabrik cerdas. Di dalam pabrik cerdas berstruktur moduler, sistem siber-fisik mengawasi proses fisik, menciptakan salinan dunia fisik secara virtual, dan membuat keputusan yang tidak terpusat.&nbsp;



Lewat IoT, sistem siber-fisik berkomunikasi dan bekerjasama satu sama lain dengan manusia secara bersamaan. Lewat komputasi awan, layanan internal dan lintas organisasi disediakan dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak di dalam rantai nilai.



Definisi di atas dipersempit dalam konteks industri manufaktur. Sebuah pabrik yang selama ini padat karya dibantu robotik (mekanik) dan otomasi komputer akan dibantu dengan teknologi berbasis digital.&nbsp;



Sejatinya, Industri 4.0 jauh lebih luas dari itu. Melibatkan semua aspek dan industri. Bidang keuangan, bidang pertanian, peternakan, kimia, kesehatan, dan lebih banyak lagi.



Semua sedang dalam proses menyambut Industri 4.0. Lalu apakah sambutan itu seluruhnya berupa suka cita? Tentu tidak. Masih banyak kekhawatiran bersamaan dengan itu.&nbsp;



Kekhawatiran yang sebenarnya tidak bedanya dengan radio, kaset, dan koran itu. Ketiganya juga bagian dari industri dan fenomena Industri 4.0 boleh dikatakan terjadi lebih awal di situ.



Radio saat ini sudah bisa siaran secara digital dan menangkap peluang digital advertising. Tetap dibutuhkan manusia di dalamnya dan tentu saja yang berjiwa inovatif.



Begitu juga industri musik dan media cetak yang kini sudah tersaji versi digital. Hanya diperlukan inovasi lanjutan agar lebih berkembang.



Menteri Perindustrian Indonesia Airlangga Hartarto menjelaskan penerapan ekonomi digital yang berbasis pada inovasi mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional hingga 2 persen dari&nbsp;baselinesebesar 5,6 persen.&nbsp;



”Kemudian diproyeksikan bakal terciptanya lapangan kerja hingga lebih dari 10 juta orang dan kontribusi manufaktur bisa terdongkrak sebesar 25 persen,” Airlangga memaparkan dampak positif&nbsp;Making Indonesia&nbsp;4.0 baru-baru ini.



Hasil studi McKinsey mencatat pembangunan ekonomi berbasis digital di Indonesia bisa menciptakan pendapatan tambahan pada PDB nasional sebesar USD155 miliar pada 2025.&nbsp;



“Ini&nbsp;new opportunity&nbsp;dari digitalisasi ekonomi. Selain itu, ada tambahan tenaga kerja di sektor industri sebanyak 4,5 juta orang dan di sektor&nbsp;industry related servicemencapai 12,5 juta orang,” dia memaparkan.



Belum lagi, penerapan ekonomi digital diperkirakan akan melahirkan entrepreneur muda dengan rata-rata usia di bawah 35 tahun. Lahirnya GO-JEK, startup decacorn pertama asal Indonesia, menjadi bukti nyata.



GO-JEK memang mengubah cara dan pola masyarakat menggunakan jasa ojek dan pesan-antar makanan atau barang. Tapi kebutuhan masyarakat akan hal tersebut tetap terpenuhi.



Digitalisasi layanan ala GO-JEK itu terbukti bukan sekadar memenuhi kebutuhan tapi memperbesar dan menciptakan kebutuhan lainnya.(*)

industri-4-0

Setiap inovasi, bahkan yang terjadi secara revolusioner, itu tidak mengubah apalagi menghilangkan kebutuhan. Pada intinya hanya mengubah cara dan pola untuk kemudian menciptakan ruang usaha baru. Dari prinsip di atas kita coba memahami lebih bijak tentang revolusi yang sedang menggaung di dunia, tidak terkecuali Indonesia, Industri 4.0 (Four point O). Radio vs Televisi “…video killed [&hellip;]

Harga Emas Hari Ini

Radio, Kaset, Koran, dan Industri 4.0