JAKARTA – Di tengah tren surplus perdagangan yang terus berlanjut, Indonesia menghadapi tantangan besar dari kebijakan tarif baru yang diusulkan mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.Kebijakan proteksionis ini tak hanya menyasar China dan negara-negara besar lainnya, tetapi juga menargetkan negara berkembang seperti Indonesia. Dalam pernyataan terbarunya, Trump secara terang-terangan menyebut Indonesia, Malaysia, dan Kamboja sebagai negara-negara yang “mengambil keuntungan” dari Amerika Serikat.“Indonesia, Malaysia, Kamboja. Oh, coba lihat Kamboja, 98 persen! Kita akan turunkan menjadi 49 persen. Mereka mengambil keuntungan dari Amerika Serikat,” kata Trump saat mengumumkan rencana pemberlakuan tarif baru terhadap sejumlah negara di Washington, dikutip Selasa, 22 April 2025.Trump juga mengusulkan penerapan tarif impor yang sangat tinggi hingga 32% terhadap berbagai produk dari negara-negara tersebut.<ul><li>Baca Juga: <a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/tersandera-2-raksasa-tantangan-indonesia-dalam-pusaran-perang-dagang-as-china">Tersandera 2 Raksasa: Tantangan Indonesia dalam Pusaran Perang Dagang AS-China</a></li></ul><h2>Surplus Dagang yang Mengundang Risiko</h2>Indonesia saat ini tengah menikmati rekor surplus neraca perdagangan selama 59 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Pada Maret 2025, surplus tercatat mencapai US$4,33 miliar, meningkat signifikan dari US$3,1 miliar pada bulan sebelumnya.Kontribusi terbesar berasal dari ekspor nonmigas, terutama lemak dan minyak nabati, bahan bakar mineral, serta besi dan baja. Namun di balik capaian ini, muncul kekhawatiran bahwa keunggulan perdagangan Indonesia justru memicu respons negatif dari mitra dagang besar seperti Amerika Serikat.AS mencatat defisit perdagangan sebesar US$18 miliar terhadap Indonesia pada 2024, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan defisit perdagangan terbesar ke-15 bagi Negeri Paman Sam. Sementara itu, menurut data Kemendag RI, Indonesia mencatat surplus terhadap AS sebesar US$14,34 miliar pada periode yang sama.<ul><li>Baca Juga: <a target="_blank" rel="noopener noreferrer" href="https://www.trenasia.com/as-soroti-hambatan-dagang-dan-investasi-di-indonesia-ini-daftar-kritiknya">AS Soroti Hambatan Dagang dan Investasi di Indonesia: Ini Daftar Kritiknya</a></li></ul><h2>Peningkatan Ekspor RI ke AS</h2>Ekspor Indonesia ke AS mengalami lonjakan signifikan dalam lima tahun terakhir—dari US$17,84 miliar pada 2019 menjadi US$26,31 miliar pada 2024, atau meningkat hampir 48 persen. Produk ekspor utama mencakup tekstil, produk rajutan, sepatu, minyak sawit, udang, ikan, hingga peralatan elektrik.“Amerika Serikat merupakan penyumbang utama surplus neraca perdagangan Indonesia dalam 10 tahun terakhir,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik, Amalia Adininggar Widyasanti di Jakarta, Selasa, 22 April 2025.Namun keberhasilan ini justru menjadi sorotan dalam rencana kebijakan tarif baru Trump. Di tengah meningkatnya tensi perang dagang dan sentimen nasionalisme ekonomi di AS, surplus besar Indonesia dinilai mengganggu keseimbangan neraca perdagangan Amerika secara keseluruhan.<h2>Strategi Diplomasi Dagang dan Tantangannya</h2>Di sisi lain, impor Indonesia dari AS juga cukup besar. Pada 2024, nilainya hampir menyentuh US$12 miliar, dengan komoditas utama meliputi minyak bumi olahan, peralatan mekanis, buah-buahan, dan biji penghasil minyak.Sebagai langkah antisipatif, Indonesia berencana meningkatkan impor dari AS sebesar US$1,5–2 miliar per tahun. Strategi ini dipandang sebagai upaya diplomasi ekonomi guna meredam tekanan sekaligus menjaga hubungan dagang bilateral.Namun sejumlah ekonom mengingatkan bahwa strategi ini dapat menjadi bumerang bila tidak dibarengi dengan upaya peningkatan ekspor secara proporsional.“Jika impor terus meningkat tanpa diimbangi ekspor, bukan tidak mungkin surplus akan menyusut, bahkan berbalik menjadi defisit dalam hubungan dagang bilateral dengan AS,” ujar Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, Selasa, 22 April 2025.Kekhawatiran semakin besar jika tarif tinggi benar-benar diberlakukan terhadap produk unggulan Indonesia seperti minyak sawit, atau jika harga komoditas ekspor utama seperti batu bara terus menurun—yang pada kuartal I-2025 bahkan telah turun 29,27% (yoy).<h2>Risiko dan Peluang ke Depan</h2>Amerika Serikat saat ini merupakan mitra dagang dengan surplus terbesar bagi Indonesia. Tanpa pengelolaan yang tepat, tren surplus yang selama ini menjadi kebanggaan nasional bisa cepat tergerus.Dalam skenario terburuk, tren positif itu bisa berubah menjadi defisit perdagangan bilateral, yang akan berdampak lebih luas terhadap perekonomian nasional. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak hanya mengandalkan strategi diplomasi dagang jangka pendek, tetapi juga menyusun langkah konkret untuk meningkatkan daya saing ekspor, mendiversifikasi pasar tujuan ekspor, memperkuat industri hilir dalam negeri.Dengan begitu, Indonesia dapat menjaga kestabilan neraca perdagangan sekaligus memperkuat posisi dalam percaturan ekonomi global.

Ilustrasi.jpg

Indonesia sebenarnya tengah menikmati rekor surplus neraca perdagangan selama 59 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. Namun, di balik angka yang mengesankan itu, terdapat kekhawatiran bahwa keunggulan perdagangan ini justru bisa memicu tekanan balik dari mitra dagang besar seperti AS. 

Harga Emas Hari Ini

Surplus 59 Bulan Indonesia Terancam Tarif 32 Persen dari Trump, Apa Solusinya?